Pada masa orang Barat sampai ke Indonesia abad XVI mereka menghadapi kenyataan bahwa bahasa Melayu sudah resmi menjadi bahasa pergaulan dan bahasa perdagangan. Bahasa Portugis maupun Belanda mendirikan sekolah-sekolah. Mereka kemudian terbentur masalah bahasa. Usaha pemakaian bahasa mereka (Portugis/Belanda) selalu mengalami kegagalan. Akhirnya keluar keputusan dari pemerintah kolonial, K.B. 1871 No. 104, yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumi putera dilakukan dalam bahasa daerah atau bahasa Melayu.
Pada tahun 1908 pemerintah Belanda mendirikan suatu komisi yang disebut Comissie voor Volkslectuur diketuai Dr. G.A.J. Hazeu. Kemudian komisi ini berubah nama menjadi Balai Pustaka pada tahun 1917. Kegiatan badan ini membantu penyebaran dan pendalaman bahasa Melayu karena menerbitkan buku-buku murah berbahasa Melayu. Pada 25 Juni 1918 Ratu Belanda menetapkan bahwa anggota Volksraad (DPR) bebas menggunakan bahasa Melayu dalam kegiatan mereka.
Untuk menyatukan rakyat Indonesia perlu satu bahasa yang diakui bersama. Untuk hal ini organisasi Jong Java dan Jong Sumatra telah memilih bahasa Melayu. Dalam kongres II Jong Sumatra dengan tegas dinyatakan untuk memakai bahasa Melayu Riau, bahasa Melayu tinggi, untuk dipakai sebagai bahasa persatuan.
Surat kabar-surat kabar yang terbit pada masa itu pun telah memakai bahasa Melayu, misalnya: Bianglala, Bintang Timur, Kaum Muda, Neratja. Pengaruh mereka sangat besar dalam memasyarakatkan bahasa Melayu.
Puncaknya adalah terjadinya peristiwa Kongres Pemuda yang sangat terkenal itu pada 28 Oktober 1928 di Jakarta yang menyatakan:
"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan - Bahasa Indonesia."
Pada tahun 1908 pemerintah Belanda mendirikan suatu komisi yang disebut Comissie voor Volkslectuur diketuai Dr. G.A.J. Hazeu. Kemudian komisi ini berubah nama menjadi Balai Pustaka pada tahun 1917. Kegiatan badan ini membantu penyebaran dan pendalaman bahasa Melayu karena menerbitkan buku-buku murah berbahasa Melayu. Pada 25 Juni 1918 Ratu Belanda menetapkan bahwa anggota Volksraad (DPR) bebas menggunakan bahasa Melayu dalam kegiatan mereka.
Untuk menyatukan rakyat Indonesia perlu satu bahasa yang diakui bersama. Untuk hal ini organisasi Jong Java dan Jong Sumatra telah memilih bahasa Melayu. Dalam kongres II Jong Sumatra dengan tegas dinyatakan untuk memakai bahasa Melayu Riau, bahasa Melayu tinggi, untuk dipakai sebagai bahasa persatuan.
Surat kabar-surat kabar yang terbit pada masa itu pun telah memakai bahasa Melayu, misalnya: Bianglala, Bintang Timur, Kaum Muda, Neratja. Pengaruh mereka sangat besar dalam memasyarakatkan bahasa Melayu.
Puncaknya adalah terjadinya peristiwa Kongres Pemuda yang sangat terkenal itu pada 28 Oktober 1928 di Jakarta yang menyatakan:
"Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan - Bahasa Indonesia."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar