Minggu, 20 November 2011

Menggugat Pembelaan Umat Islam Kampungan Tentang Tuhan

Secara gamblang, apologi adalah pembelaan. Pembelaan terhadap keyakinan, pemikiran, ideologi dan seterusnya. Singkatnya pembelaan atas suatu wacana. Meski ditaburi dengan argumen yang belapis-lapis (biasanya lebih dominan alibi), aura dasarnya tetaplah sebuah pembelaan. Target akhirnya tetap jihad untuk mencari menang, atas suatu klaim dan dogmatisme yang dianut. Ibaratnya, seorang apolog, mirip seorang yang mengolesi segunung tahi kerbau dengan
berlapis-lapis mentega. Setebal dan seharum apappun mentega yang diolesi, aroma tahi kerbau tetap akan menusuk hidung. Tapi bau itu tentu hanya akan tercium oleh hidung yang sudah tercerahkan. Yang sudah bangkit adrenalin berpikir kritis-realistis dalam dirinya.
(Sumber: Kamus Erianto Anas. Definisi lain? Cari di Wikipedia).

Lebih kurang begitulah watak pada umumnya umat Islam fundamentalis dalam banyak forum online sejauh yang saya ikuti, misalnya di Kompasiana, Tempo, VIVAnews, Kaskus, blogernas dan beberapa grup di Facebook.

Dari sekian banyak topik yang menjadi amukan para anrkisus-Islam, saya ingin menyorot 1 hal pokok berkenaan dengan kajian filosofis saja, yaitu tentang eksistensi Tuhan. Dengan satu pertanyaan: Apakah Tuhan itu memang ada?

Bila berhadapan dengan kaum yang kritis tentang Tuhan, apalagi kaum Atheis, umat Islam Fundamentalis melulu menggunakan analogi untuk menangkis serangan atas tidak memadainya klaim keyakinan akan adanya Tuhan. Biasanya mereka menulis seperti ini:


  • “Coba pikir, siapa yang menciptakan anda, ibu bapak anda, dan seterusnya sampai Nabi Adam? Bahkan coba renungkan, mungkinkah ada sesuatu tanpa ada yang menciptakannya? Mana mungkin alam ini ada jika tidak ada yang menciptakannya.”

Meski dengan kalimat yang beragam, lebih kurang pertanyaan retoris seperti ini sudah lazim menjadi sejata pamungkas bagi mereka. Tapi bagi saya, tangkisan ini hanya ungkapan ketidakberdayaan. Secara logika? Cacat. Kalimat premis mereka adalah: “Tidak ada segala sesuatu tanpa yang menciptakannya.” Lalu mereka menarik konklusi: “Alam ada, maka alam ada yang menciptakannya.” Tapi mereka lupa dengan kritik balik atas premisnya sendiri. Misalnya: “Tuhan ada. Berarti juga ada yang menciptakan Tuhan.” Artinya premis itu mereka berlakukan untuk apa saja yang dinyatakan ada, tetapi tidak mereka berlakukan untuk Tuhan. Biasanya mereka akan membalas: “Kalau untuk Tuhan tidak begitu. Tuhan tidak ada yang menciptakanNya. Dia sudah ada dengan sendirinya sejak zaman azalinya. Justru Dia-lah yang menciptakan segalanya.” Tangkisan ini jelas sudah menggugurkan premis dasarnya sendiri bahwa “segala sesuatu ada yang menciptakannya.” Dan ini konsekuensi logis. Tapi mereka tidak bisa memahami hukum logika premis dan konklusi ini. Dengan kata lain, mereka tidak konsisten. Inkonsistensi dalam alur penalaran.

Sebenarnya bisa saya pahami, kenapa mereka menggunakan premis tua Aristeoteles yang sudah usang di kancah Filsafat ini. Karena mereka terdesak. Gempuran kaum Atheis, Agnotis dan Skeptis, yang tidak menerima dalil Kitab Suci dalam perdebatan tentang Tuhan, memaksa mereka untuk mencoba menangkisnya secara filosofis. Tapi karena dasarnya adalah dalam rangka pembelaan, mereka tetap tidak berdaya. Mereka mirip seorang yang diterpa banjir bandang. Mereka berusaha menyabet apa saja disekitarnya agar tetap bisa bertahan dari arus air. Tapi karena tempatnya berpegang rapuh, maka tetap saja mereka akhirnya dilumat oleh arus air yang tak terkalahkan. Dan itulah nasib kaum alibiah.

Benar, bahwa logika Aristoteles adalah metode berpikir yang sempat menerangi dunia pemikiran hingga berabad-abad di panggung percaturan Filsafat. Konsep Causa Prima, tentang Penyebab Pertama, telah melincinkan jalan bagi para Pemikir Skolastik (Teolog) di abad pertengahan dalam memahami keberadaan Tuhan secara filosofis tanpa dalil Kitab Suci. Baik dikalangan Islam (Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina) mapun Yahudi (Maimonades). Tapi premis Aristotoles tentang Causa Prima itu sudah dijungkirbalikan oleh epistemologi kontemporer. Misalnya yang paling telak oleh Betrand Russel.

Aristoteles, dengan Causa Primanya, bagi Russel tidak berfilsafat. Tapi tidak ada bedanya dengan dogma agama. Kenapa Aristoteles berhenti pada Causa Prima? “Setiap yang ada pasti ada yang menciptakannya. Tapi Penyebab pertama tidak ada lagi yang menyebabkan keberadaannya.” Bagi Russel, siapa yang mengukuhkan premis itu sebagai pernyataan absolut yang tak terbantahkan? Menurut Russel tidak ada selain hanya klaim Aristoteles sendiri. Dengan kata lain, Aristoteles pada titik itu terjebak pada dogmatisme. Dogma filosofis yang dibangunnya sendiri.

Itu hanya salah satu contoh. Belum lagi bila meminjam paradigma Nietzschean, dimana segala klaim telah gugur. Bahkan kosa kata Kebenaran, Narasi Besar, Legitimasi Absolut, telah mati (Nietzsche, Derrida, Foucalt, Habermas dan Lyotard). Dengan kata lain, manusia tak punya otoritas lagi bicara Kebenaran. Karena yang disebut Kebenaran itu hanya perspektif manusia tentang hidup. Penafsiran manusia atas gejala-gejala alam yang netral yang terus menerus berlalu lalang tiada henti.

Tapi perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini bukan pengukuhan bahwa Tuhan tidak ada, apalagi menyudahi segala kajian tentang Tuhan. Tapi hanya tinjauan selayang pandang, bahwa umat Islam Fundamentalis gagap bila masuk ke gelanggang filosofis untuk mengukuhkan Tuhan yang mereka yakini dengan gelap nalar. Setidaknya begitulah pendapat saya sejauh yang saya cermati di beberapa forum online yang saya ikuti.

So, apa yang anda pikirkan?[Sumber]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar